TENTANG BUAH HUTAN
MENGENAL BUAH DENGAN AROMA NANO – NANO
MATOA ( Pometia pinnata )
A.
Latar
Belakang
Matoa (Pometia
pinnata Frost) merupakan salah satu pohon penghasil buah asli Papua. Buah matoa
mempunyai citarasa yang khas dengan bentuk buah yang mirip buah lengkeng
sehingga matoa dikenal masyarakat luar Papua sebagai lengkeng Papua. Dengan
keunggulan citarasanya tersebut berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian RI No.160/Kpts/SR.120/3/2006,
matoa Papua telah ditetapkan sebagai varitas buah unggul yang patut
dibudidayakan. Meskipun dikenal memiliki
citarasa yang khas dan harganya cukup mahal sejauh ini matoa belum
dibudidayakan secara intensif. Buah yang diperjualbelikan di pasar lokal
berasal dari pohon yang tumbuh secara alami di kebun masyarakat atau kawasan
hutan sehingga ketersediaannya terbatas dengan kualitas buah yang beragam.
Apalagi sebagian masyarakat memanen buah matoa dengan menebang pohonnya
sehingga dari waktu ke waktu ketersediaan pohon penghasil buah semakin
berkurang. Di lain pihak, kelezatan buah matoa yang khas semakin banyak
peminatnya, bahkan sampai ke luar daerah Papua. Semakin tersedianya sarana
transportasi antar pulau semakin memudahkan distribusi buah matoa ke luar
Papua. Memperhatikan berbagai hal tersebut buah matoa dinilai cukup potensial
untuk dikembangkan dan dibudidayakan sebagai buah unggulan lokal Papua. Selain
menyediakan alternatif sumber pendapatan bagi masyarakat, budidaya juga akan
menunjang kelestarian pohon matoa.
B.
Persyaratan
Bibit yang bagus
Budidaya matoa
dinilai berhasil bila pohon yang ditanam tumbuh dan berbuah secara maksimal
dengan kualitas buah yang maksimal pula. Untuk mencapai hal tersebut maka bibit
yang ditanam harus berasal dari induk yang produktif dengan karakteristik buah
unggul, ditanam di lokasi dengan kondisi lingkungan yang sesuai syarat
tumbuhnya, dan diberi perlakuan yang memadai sesuai dengan kebutuhan
pertumbuhan dan berproduksinya. Secara umum dikatakan bahwa fenotip suatu
individu tanaman ditentukan oleh sifat genotip dan lingkungan tumbuhnya. Teori
Toleransi Good menyatakan bahwa setiap spesies tanaman hanya dapat hidup dan
berkembang biak pada kisaran kondisi lingkungan tertentu, dan kondisi
lingkungan yang berpengaruh adalah iklim, tanah, dan biologis (Barbour, Burk, dan
Pitts, 1980). Perlakuan dimaksudkan untuk memanipulasi kondisi lingkungan dan
mengarahkan proses fisiologis tanaman sehingga optimal bagi pertumbuhan dan
perkembangannya agar dapat tumbuh dan berproduksi secara maksimal
Pengembangan
matoa sebagai komoditas buah unggulan lokal akan berperan positif bagi ekonomi
masyarakat bila kegiatan tersebut melibatkan masyarakat secara aktif, yaitu
masyarakat sebagai pelaku utama pembudidayaan matoa di lahan mereka.
Pengembangan matoa oleh masyarakat akan berhasil bila teknik budidaya yang
dikembangkan dapat mereka terapkan. Oleh karena itu teknik budidaya yang
dikembangkan harus sesuai dengan nilai dan kapasitas teknologi masyarakat.
Berkaitan dengan hal tersebut maka perlu dilakukan pengkajian tentang ekologi
tempat tumbuh matoa, karakter fenotipik matoa pada berbagai kondisi lingkungan
tumbuh dan tipe buah yang dihasilkan, nilai ekonomi matoa bagi masyarakat, dan
teknik budidaya matoa yang sudah diterapkan oleh masyarakat. Berdasarkan
informasi tersebut dapat ditentukan jenis matoa unggul, tempat penanaman dengan
lingkungan tumbuh yang sesuai dengan syarat tumbuhnya, dan mendesain teknik
budidaya yang lebih baik serta dapat diterima dan diterapkan oleh masyarakat.
C.
Pengembangan
Buah Matoa
Matoa (Pometia
pinnata Frost) sebagai jenis pohon buah lokal Papua merupakan sumberdaya
potensial yang harus dilestarikan dan ditingkatkan nilai manfaatnya bagi
kesejahteraan masyarakat. Meskipun matoa sudah memberi kontribusi terhadap
pendapatan masyarakat, namun kontribusi tersebut masih sangat kecil karena
sejauh ini sebagian besar matoa yang dihasilkan berasal dari pohon yang tumbuh
secara alami dengan pengelolaan yang masih sangat minimal. Untuk meningkatkan
peran matoa dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mempromosikan
matoa sebagai buah unggulan Papua diperlukan upaya pembudidayaan matoa secara
intensif sehingga pohon yang ditanam produktif dengan buah yang
berkualitas. Keberhasilan pengembangan suatu komoditas tanaman dipengaruhi
oleh aspek ekologi tanaman yang dibudidayakan dan aspek sosial ekonomi
pelakunya. Pohon matoa mempunyai range penyebaran yang cukup luas. Selain di
Papua dilaporkan jenis pohon ini juga berhasil dikembangkan di beberapa daerah
di luar Papua. Di Papua sendiri matoa terutama menyebar di seluruh wilayah
bagian utara, namun pohon matoa yang produktif dengan buah yang berkualitas
hanya dijumpai di daerah Jayapura. Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun dapat
tumbuh pada kisaran kondisi lingkungan yang cukup luas tetapi untuk dapat
produktif berbuah dengan buah yang berkualitas pohon matoa membutuhkan kondisi
lingkungan yang spesifik. Masyarakat
Papua sudah berinteraksi dan memanfaatkan pohon matoa secara turun-temurun.
Selama proses interaksi dan pemanfaatan tersebut tentunya telah menumbuhkan
pemahaman masyarakat terhadap berbagai aspek ekologi, pertumbuhan, dan tata
cara pemanfaatan matoa. Agar teknik budidaya yang dikembangkan sesuai dengan
nilai dan kapasitas pengetahuan masyarakat untuk menerapkannya maka teknik yang
dikembangkan harus didasarkan pada nilai dan pemahaman tradisional masyarakat.
Berkaitan dengan hal-hal tersebut guna menunjang keberhasilan pengembangan
matoa sebagai buah unggulan lokal dengan melibatkan masyarakat sebagai pelaku
utamanya maka perlu dilakukan kajian tentang ekologi lingkungan pertumbuhan
pohon matoa dan nilai sosial, ekonomi, dan pengetahuan lokal masyarakat dalam
budidaya matoa.
D.
Botani
Buah Matoa dan Kandungan Khasiatnya
Matoa (Pometia sp) merupakan tumbuhan
daerah tropis yang banyak terdapat di hutan-hutan pedalaman Pulau Irian
(sekarang Papua). Secara umum diketahui terdapat 3 spesies pometia, yaitu P.
pinnata, P. coreaceae, dan P. accuminata. Secara taksonomis klasifikasi matoa
adalah :
Kingdom : Plantae (tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (berpembuluh)
Superdivisio : Spermatophyta (menghasilkan biji)
Divisio : Magnoliophyta (berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil)
Sub-kelas : Rosidae
Ordo : Sapindales
Familia : Sapindaceae
Genus : Pometia
Species : Pometia pinnata J.R & G. Forst, Pometia acuminata, dan Pometia
Kingdom : Plantae (tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (berpembuluh)
Superdivisio : Spermatophyta (menghasilkan biji)
Divisio : Magnoliophyta (berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil)
Sub-kelas : Rosidae
Ordo : Sapindales
Familia : Sapindaceae
Genus : Pometia
Species : Pometia pinnata J.R & G. Forst, Pometia acuminata, dan Pometia
coreaceae.
Dalam dunia
perdagangan dikenal dengan nama Matoa. Di tempat lain matoa dikenal dengan
berbagai nama, yaitu Kasai (Kalimantan Utara, Malaysia, Indonesia), Malugai
(Philipina), dan Taun (Papua New Guinea). Sedangkan nama daerah adalah Kasai,
Kongkir, Kungkil, Ganggo, Lauteneng, Pakam (Sumatera); Galunggung, Jampango,
Kasei, Landur (Kalimantan); Kase, Landung, Nautu, Tawa, Wusel (Sulawesi);
Jagir, Leungsir, Sapen (Jawa); Hatobu, Matoa, Motoa, Loto, Ngaa, Tawan
(Maluku); Iseh, Kauna, Keba, Maa, Muni, (Nusa Tenggara); Ihi, Mendek, Mohui,
Senai, Tawa, Tawang (Papua).
Daerah Penyebaran Di Indonesia matoa (Pometia spp.) tumbuh menyebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sumbawa (Nusa Tenggara Barat), Maluku, dan Papua (Sudarmono, 2001). Daerah penyebaran matoa di Papua antara lain di Dataran Sekoli (Jayapura), Wandoswaar – P. Meoswaar, Anjai – Kebar, Warmare, Armina, Bintuni, Ransiki (Manokwari), dan lain-lain. Tumbuh pada tanah yang kadang-kadang tergenang air tawar, pada tanah berpasir, berlempung, berkarang dan berbatu cadas. Keadaan lapangan datar, bergelombang ringan – berat dengan lereng landai sampai curam pada ketinggian sampai 120 m di atas permukaan air laut (Dinas Kehutanan DATI I Irian Jaya, 1976)
Habitus Matoa merupakan tumbuhan berbentuk pohon dengan tinggi 20 – 40 m, dan ukuran diameter batang dapat mencapai 1,8 meter. Batang silindris, tegak, warna kulit batang coklat keputih-putihan, permukaan kasar. Bercabang banyak sehingga membentuk pohon yang rindang, percabangan simpodial, arah cabang miring hingga datar. Akar tunggang, coklat kotor.
Daerah Penyebaran Di Indonesia matoa (Pometia spp.) tumbuh menyebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sumbawa (Nusa Tenggara Barat), Maluku, dan Papua (Sudarmono, 2001). Daerah penyebaran matoa di Papua antara lain di Dataran Sekoli (Jayapura), Wandoswaar – P. Meoswaar, Anjai – Kebar, Warmare, Armina, Bintuni, Ransiki (Manokwari), dan lain-lain. Tumbuh pada tanah yang kadang-kadang tergenang air tawar, pada tanah berpasir, berlempung, berkarang dan berbatu cadas. Keadaan lapangan datar, bergelombang ringan – berat dengan lereng landai sampai curam pada ketinggian sampai 120 m di atas permukaan air laut (Dinas Kehutanan DATI I Irian Jaya, 1976)
Habitus Matoa merupakan tumbuhan berbentuk pohon dengan tinggi 20 – 40 m, dan ukuran diameter batang dapat mencapai 1,8 meter. Batang silindris, tegak, warna kulit batang coklat keputih-putihan, permukaan kasar. Bercabang banyak sehingga membentuk pohon yang rindang, percabangan simpodial, arah cabang miring hingga datar. Akar tunggang, coklat kotor.
Matoa berdaun
majemuk, tersusun berseling, 4 – 12 pasang anak daun. Saat muda daunnya
berwarna merah cerah, setelah dewasa menjadi hijau, bentuk jorong, panjang 30 –
40 cm, lebar 8 – 15 cm. Helaian daun tebal dan kaku, ujung meruncing
(acuminatus), pangkal tumpul (obtusus), tepi rata. Pertulangan daun menyirip
(pinnate) dengan permukaan atas dan bawah halus, berlekuk pada bagian
pertulangan. Bunga majemuk, bentuk corong, di ujung batang. Tangkai bunga
bulat, pendek, hijau, dengan kelopak berambut, hijau. Benang sari pendek,
jumlah banyak, putih. Putik bertangkai, pangkal membulat, putih dengan mahkota
terdiri 3 – 4 helai berbentuk pita, kuning. Buah bulat atau lonjong sepanjang 5
– 6 cm, berwarna hijau kadang merah atau hitam (tergantung varietas). Daging
buah lembek, berwarna putih kekuningan. Bentuk biji bulat, berwarna coklat muda
sampai kehitam-hitaman.
Perbanyakan Matoa
pada umumnya dikembangbiakkan melalui biji (generatif). Biji matoa cepat
kehilangan viabilitas setelah terpapar udara luar. Benih matoa tidak memiliki
sifat dormansi dan akan segera mati beberapa hari setelah dikeluarkan dari
buahnya atau jika dibiarkan terbuka (Widarsih, 1997 dalam Nurmiaty, 2006).
Selama penyimpanan terbuka benih matoa mengalami pengeringan alami yang
merupakan salah satu ciri benih rekalsitran, yaitu benih yang menghendaki
penyimpanan dengan kadar air dan kelembaban tinggi sehingga benih tetap lembab
dan enzim-enzimnya tetap aktif. Hasil penelitian Widarsih (1997) dalam Nurmiaty
(2006) menyimpulkan bahwa penyimpanan secara alami (terbuka) menurunkan
viabilitas benih yang ditunjukkan dengan menurunnya daya berkecambah, tinggi
bibit, dan pertambahan tinggi. Penyimpanan secara alami selama 6 hari
menurunkan daya berkecambah dari 72 % menjadi 19 %. Matoa juga dapat
dikembangbiakkan secara vegetatif seperti cangkok, okulasi hingga teknik kultur
jaringan. Untuk memperoleh jumlah bibit dalam jumlah banyak dan seragam serta
untuk perbaikan sifat tanaman di masa mendatang, telah dilakukan penelitian
perbanyakan tanaman dengan menggunakan teknik kultur jaringan. Hasil penelitian
Sudarmonowati, Bachtiar, dan A.S. Yunita (1995), menunjukkan bahwa kultur biji
muda dan embrio matoa dapat tumbuh pada media MS yang mengandung kombinasi 4,0
mg/L BAP dan 0,5 mg/L NAA sehingga akan sangat bermanfaat dalam program
konservasi karena biji muda dapat diselamatkan sebelum terserang hama. Pada
kultur tunas samping, perpanjangan tunas terhambat karena pengkalusan,
sedangkan kultur anter dapat menghasilkan embrioid dalam jumlah banyak.
Karakter Fenotip
Buah Matoa Buah matoa berbentuk bulat oval dengan ukuran maupun warna yang
beragam. Matoa papeda berukuran kecil dengan diameter 2,2 – 3 cm dan panjang 3
– 4 cm (rasio panjang/diameter 1,31). Kulit buah halus dengan warna saat masak
hijau kekuningan, kuning, sampai merah kehitaman. Daging buah lembek, berwarna
putih sampai kekuningan, dengan ketebalan bervariasi dari tipis sampai tebal.
Buahnya manis dengan aroma yang khas. Daging buah ada yang terkelupas dan ada
yang lengket di biji. Bentuk biji bulat, berwarna coklat muda sampai
kehitam-hitaman. Buah bergerombol dalam tangkai buah. Tiap tangkai buah berisi
23 - 76 buah dengan berat berkisar antara 0,5 – 1,0 kg.
Matoa kelapa berukuran besar, dengan diameter 2,5 – 3,5 cm dan panjang mencapai 3,4 – 5 cm (rasio panjang/diameter 1,33). Kulit buah halus dengan warna saat masak kuning kehijauan (kelapa kuning) atau merah kekuningan sampai merah kecoklatan (kelapa merah). Dilaporkan ada juga matoa kelapa yang kulitnya tetap berwarna hijau meskipun sudah masak (kelapa hijau), tetapi saat penelitian pohonnya sedang tidak berbuah. Daging buahnya tebal, kenyal, kering, berwarna kekuningan. Rasanya manis, gurih, dan terkelupas dari bijinya. Bijinya lonjong agak gepeng, berwarna kecoklatan. Tiap tangkai buah berisi 16 – 62 buah dengan berat berkisar antara 0,3 – 1,5 kg.
Matoa kelapa berukuran besar, dengan diameter 2,5 – 3,5 cm dan panjang mencapai 3,4 – 5 cm (rasio panjang/diameter 1,33). Kulit buah halus dengan warna saat masak kuning kehijauan (kelapa kuning) atau merah kekuningan sampai merah kecoklatan (kelapa merah). Dilaporkan ada juga matoa kelapa yang kulitnya tetap berwarna hijau meskipun sudah masak (kelapa hijau), tetapi saat penelitian pohonnya sedang tidak berbuah. Daging buahnya tebal, kenyal, kering, berwarna kekuningan. Rasanya manis, gurih, dan terkelupas dari bijinya. Bijinya lonjong agak gepeng, berwarna kecoklatan. Tiap tangkai buah berisi 16 – 62 buah dengan berat berkisar antara 0,3 – 1,5 kg.
Pemanfaatan Secara
tradisional buah dan biji matoa oleh suku Genyem, Sentani, Amumen, Ekari dan
Ayamaru dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Buah yang dapat dimakan adalah
varietas kelapa, papeda, dan kenari. Biji matoa dapat dimakan setelah diolah.
Kayunya dimanfaatkan untuk bahan bangunan (rumah dan jembatan), mebel,
ukir-ukiran dan alat pertanian (Sumiasri, Kuswara, dan Setyowati-Indarto,
2000). Biji, buah dan daun matoa (Pometia pinnata J.R & G. Forst.)
mengandung saponin, flavonoida, dan polifenol. Biji matoa berkhasiat untuk
tonikum. Kulit batang matoa kemungkinan mempunyai sifat penghambat pertumbuhan
bakteri. Hasil penelitian Praptiwi dan Mindarti (2004) menunjukkan bahwa
pemisahan ekstrak etil asetat kulit batang matoa dengan kolom kromatografi
menghasilkan 12 fraksi yang mempunyai daya hambat terhadap 3 isolat bakteri uji
yaitu Pseudomonas pseudommallei, Staphylococcus epidermidis dan Bacillus
subtilis. Fraksi ke 10 mempunyai daya hambat pertumbuhan terbesar (21 mm)
terhadap P. pseudomallei.
E.
Ekologi
Tempat Tumbuh Tanaman
Setiap jenis
tanaman membutuhkan lingkungan tumbuh tertentu untuk dapat tumbuh dan
berkembang. Hukum Minimum Liebig menyatakan bahwa pertumbuhan dan/atau
penyebaran suatu spesies tanaman tergantung pada satu faktor lingkungan kritis
yang sangat dibutuhkan. Teori tersebut selanjutnya disempurnakan oleh Ronald
Good menjadi Teori Toleransi yang menyatakan bahwa :
1) setiap spesies tanaman hanya
dapat hidup dan berkembang biak pada kisaran
kondisi
lingkungan tertentu.
2) kondisi lingkungan yang
berpengaruh adalah iklim, tanah, dan biologis.
3) kisaran toleransi dapat luas
untuk suatu faktor tetapi sempit untuk faktor yang
lain, dan
kisaran toleransi tersebut dapat berubah sesuai dengan tingkat
pertumbuhan
tanaman.
4) kisaran toleransi suatu tanaman
tidak dapat dinilai berdasarkan kenampakan
orfologis,
tetapi berkaitan dengan proses fisiologi yang hanya dapat diuji
melalui
eksperimen.
5) kisaran toleransi dapat berubah
melalui proses evolusi.
6) penyebaran relatif suatu spesies
dengan toleransi dan faktor lingkungan yang
sama ditentukan
oleh hasil kompetisi (atau interaksi biologis lain) antar spesies
(Barbour, Burk,
dan Pitts, 1980).
Variasi kondisi
lingkungan tumbuh dan perbedaan kemampuan spesies tanaman untuk beradaptasi
dengan berbagai kondisi lingkungan mengakibatkan terjadinya zona-zona
penyebaran tanaman sesuai dengan perubahan kondisi lingkungan tempat tumbuh dan
kemampuan tanaman untuk beradaptasi terhadap perbedaan tempat tumbuh. Semakin
besar kemampuan suatu jenis tanaman beradaptasi terhadap perbedaan lingkungan
tumbuh akan semakin luas penyebaran tumbuhnya, dan sebaliknya, semakin kecil
kemampuan suatu jenis tanaman untuk beradaptasi mengakibatkan penyebarannya
hanya terbatas pada habitat tertentu saja. Faktor lingkungan sebagai
pembatas utama pertumbuhan dan perkembangbiakan tanaman adalah ilkim, tanah dan
biologis. Faktor ilkim yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan
tanaman adalah intensitas dan distribusi curah hujan, suhu, dan cahaya. Sedang
faktor tanah yang berpengaruh adalah ketinggian tempat dan jenis tanah. Faktor
biologis yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman
berkaitan dengan berbagai bentuk interaksi antara individu tamaman dengan
individu tanaman yang lain maupun dengan berbagai satwa. Kemampuan beradaptasi
suatu jenis tanaman terhadap kondisi lingkungan tumbuh yang kurang sesuai
dengan lingkungan tumbuh aslinya sampai batas-batas tertentu akan menimbulkan
perubahan baik pada pola pertumbuhan maupun perkembangbiakannya. Perubahan pola
pertumbuhan tanaman pada lingkungan tumbuh yang berbeda dapat terjadi pada laju
pertumbuhan maupun penampilan morfologi tanaman (bentuk, ukuran, warna). Pada
pola perkembangbiakan, perbedaan lingkungan tumbuh akan menyebabkan terjadinya
perbedaan masa berbunga dan berbuah, produktifitas buah dan viabilitas biji,
atau bahkan ketidakmampuan untuk berbuah meskipun berbunga (bunganya infertil).
F.
Budidaya
Tanaman Matoa
Tanaman
merupakan salah satu penghasil bahan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Peningkatan kebutuhan manusia atas berbagai hasil tanaman mengakibatkan
ketersediaan dan kemampuan tanaman yang tumbuh secara alami tidak lagi dapat
memenuhinya. Untuk mengantisipasi hal tersebut manusia dengan sengaja melakukan
budidaya berbagai jenis tanaman yang dapat menghasilkan produk-produk yang
dapat digunakan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya.
Dalam budidaya
berbagai jenis tanaman tersebut manusia mengharapkan hasil yang lebih banyak
dan lebih baik dibanding hasil yang diperoleh dari tanaman yang tumbuh secara
alami. Untuk mencapai tujuan tersebut manusia melakukan berbagai perlakuan
terhadap tanaman yang ditanam dan lingkungan tumbuh di tempat menanamnya.
Budidaya tanaman merupakan usaha manusia untuk memaksimalkan pertumbuhan dan
hasil yang diinginkan dari suatu jenis tanaman melalui berbagai perlakuan pada
baik pada tanaman yang ditanam maupun pada lingkungan tumbuh tempat penanamannya
menggunakan teknik dan sumberdaya yang dikuasainya. Perlakuan pada tanaman
dimaksudkan agar tanaman yang ditanam cepat tumbuh dan berproduksi, dimulai
dari persiapan benih, pemeliharaan tanaman, sampai perlakuan hasil pasca panen.
Sedang perlakuan pada lingkungan tumbuh dimaksudkan untuk menyediakan kondisi
yang optimal bagi pertumbuhan tanaman melalui pengolahan tanah untuk menyiapkan
tempat pertumbuhan perakaran, meningkatkan keharaan tanah, dan mengurangi
terjadinya persaingan dengan tanaman lain maupun hama dan penyakit. Karakter
Fenotip Buah Matoa Buah matoa berbentuk bulat oval dengan ukuran maupun
warna yang beragam. Matoa papeda berukuran kecil dengan diameter 2,2 – 3 cm dan
panjang 3 – 4 cm (rasio panjang/diameter 1,31). Kulit buah halus dengan warna
saat masak hijau kekuningan, kuning, sampai merah kehitaman. Daging buah
lembek, berwarna putih sampai kekuningan, dengan ketebalan bervariasi dari
tipis sampai tebal. Buahnya manis dengan aroma yang khas. Daging buah ada yang
terkelupas dan ada yang lengket di biji. Bentuk biji bulat, berwarna coklat
muda sampai kehitam-hitaman. Buah bergerombol dalam tangkai buah. Tiap tangkai
buah berisi 23 - 76 buah dengan berat berkisar antara 0,5 – 1,0 kg. Matoa
kelapa berukuran besar, dengan diameter 2,5 – 3,5 cm dan panjang mencapai 3,4 –
5 cm (rasio panjang/diameter 1,33). Kulit buah halus dengan warna saat masak
kuning kehijauan (kelapa kuning) atau merah kekuningan sampai merah kecoklatan
(kelapa merah). Dilaporkan ada juga matoa kelapa yang kulitnya tetap berwarna
hijau meskipun sudah masak (kelapa hijau), tetapi saat penelitian pohonnya
sedang tidak berbuah. Daging buahnya tebal, kenyal, kering, berwarna
kekuningan. Rasanya manis, gurih, dan terkelupas dari bijinya. Bijinya lonjong
agak gepeng, berwarna kecoklatan. Tiap tangkai buah berisi 16 – 62 buah dengan
berat berkisar antara 0,3 – 1,5 kg.
Nilai Ekonomi
Pohon Matoa Secara tradisional masyarakat Papua mengenal dua jenis matoa untuk
membedakan dan menentukan harga jualnya, yaitu matoa kelapa dan matoa papeda.
Matoa kelapa merupakan matoa yang paling disukai dan memiliki harga yang mahal
karena ukuran buahnya yang besar, rasanya manis dan daging buahnya tebal.
Sebaliknya matoa papeda, disebut demikian karena daging buahnya tipis, lembek,
berair, dan tidak terlalu manis, harganya tidak terlalu mahal. Pemasaran buah
matoa dilakukan secara sederhana di pasar maupun di tempat-tempat penjualan
buah musiman oleh pemilik pohon sendiri atau oleh pedagang yang membeli dan
mengumpulkan buah dari pemilik pohon matoa. Harga jual buah matoa, sebagaimana
buah musiman yang lain, berfluktuasi sesuai dengan ketersediannya. Namun dari
tahun ke tahun harga buah matoa cenderung meningkat, dan saat ini berkisar
antara Rp. 15. 000 – Rp. 30.000/kg untuk matoa papeda, dan Rp 50.000 – Rp.
75.000 per kg untuk matoa kelapa. Dengan produksi buah per pohon berkisar
antara 100 – 200 kg, dan harga rata-rata di tingkat petani Rp. 10.000 – Rp.
50.000/kg, setidaknya petani pemilik pohon akan memperoleh Rp. 1.000.000 – Rp.
10.000.000/pohon/masa panen, tergantung umur pohon, produktivitas buah, dan
harga buahnya.
Selain buahnya,
beberapa bagian pohon matoa sangat potensial dikembangkan untuk berbagai
manfaat. Dengan teknik pengolahan sederhana (dijadikan bubur) biji matoa dapat
dijadikan sebagai bahan makanan. Kayunya tidak sekuat dan seawet spesies
pometia yang lain, umumnya dimanfaatkan sebagai bahan konstruksi ringan. Petani
peladang di PNG mengumpulkan dan menggunakan seresah daun matoa sebagai mulsa
untuk mempertahankan kesuburan ladang mereka. Air hasil rebusan kulit batang
atau daunnya dapat dimanfaatkan sebagai obat demam dan keletihan. Kulit batang
matoa diketahui mampu menyembuhkan luka bernanah. Diduga kulit matoa mengandung
senyawa penghambat pertumbuhan bakteri. Dengan berbagai manfaat yang
dapat diambil dari pohon matoa tersebut pohon matoa mempunyai nilai sosial yang
cukup tinggi bagi masyarakat Papua, terutama di Jayapura. Hal ini terlihat dari
kebanggaan masyarakat atas pohon matoa yang dimilikinya. Kebanggaan masyarakat
atas pohon matoa yang dipandang sebagai jenis buah lokal andalan merupakan
modal sosial yang akan sangat menunjang pengembangan matoa sebagai buah
unggulan di Papua. Dengan nilai ekonomi yang cukup tinggi, kemudahan budidaya,
dan adanya kebanggaan masyarakat atas pohon matoa, jenis ini sangat potensial
untuk dikembangkan sebagai buah unggulan lokal.
G.
Periode
berbunga dan berbuah
Pada dasarnya
pohon matoa berbuah sepanjang tahun, meskipun tidak selalu banyak. Hal ini
dikarenakan setelah buahnya habis cabang matoa akan bertunas dan berbunga
kembali. Masa berbuah antar pohon dalam lokasi pertumbuhan yang sama
bervariasi. Hal ini terlihat dari adanya pohon yang sedang berbuah, mulai dari
beberapa tangkai sampai lebat, tetapi di lokasi yang sama juga ada pohon yang
sama sekali tidak berbuah. Namun demikian terdapat dua musim berbuah serentak
dalam satu tahun, yaitu bulan Maret dan bulan September. Bulan September
merupakan puncak musim matoa di Papua.
Mulai berbunga
sampai buahnnya dapat dipanen membutuhkan waktu antara 4 – 5 bulan. Bunga matoa
berkelamin ganda, yaitu bunga jantan dan bunga betina bisa berada pada satu
pohon yang sama. Penyerbukan silang (cross fertilization) dan penyerbukan
sendiri (self fertilization) keduanya dapat terjadi pada satu pohon. Tangkai
bunga tumbuh di ujung cabang. Bunganya majemuk, berbentuk corong,. Tangkai
bunga bulat, pendek, berwarna hijau, dengan kelopak berambut. Benang sari
pendek, banyak, berwarna putih. Putik bertangkai, pangkal membulat, putih
dengan mahkota terdiri 3 – 4 helai berbentuk pita kuning. Masa berbunga pohon
matoa tidak berhubungan dengan musim secara klimatik. Namun tinggi rendahnya
curah hujan dan sering tidaknya hari hujan tampaknya berpengaruh terhadap
tingkat keberhasilan penyerbukan bunga dan kelebatan buah pohon matoa.
Berdasarkan informasi pemilik pohon masa berbuah di bulan September umumnya
pohon berbuah lebih lebat dari musim di bulan Maret. Data curah hujan bulanan
pada Gambar 1 menunjukkan bahwa curah hujan pada periode masa pembungaan untuk
musim berbuah bulan September (Mei – September) lebih rendah dibanding curah
hujan bulanan pada periode masa pembungaan untuk musim berbuah bulan Maret
(November – Maret). Meskipun tidak berpengaruh terhadap masa pembungaan, tinggi
rendahnya curah hujan diduga berkaitan dengan tingkat keberhasilan proses
pembuahan bunga. Semakin rendah curah hujan (dan hari hujan), proses pembuahan
bunga semakin optimal sehingga buah yang dihasilkan semakin lebat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar